cari web

berawal dari diri kita sendiri mari kita ikut serta ber[eran dalam memajukan pendidikan dan keilmuan bangsa kita bangsa Indonesia

Sabtu, 27 Februari 2010

Tadarus Ramadan JIL Seri I Membincang Perdebatan Filosofis Ibnu Rushd dan Al Ghazali

Oleh Umdah El-Baroroh
Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada logika demonstratif.
Memperbincangkan kembali tentang perdebatan sengit antara dua tokoh besar Islam, Al Ghazali dan Ibnu Rushd, tak pernah kehilangan daya tariknya. Hal itu pula yang menarik Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk mengangkat karya-karya Ibnu Rushd sebagai bahan pengajian Ramadlan tahun ini. Ada tiga kitab Ibnu Rushd yang akan dibedah dalam pengajian itu, yaitu Tahafut al-Tahafut, Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmati wa al-Syari’ati min al-Ittishal,dan Bidayah al-Mujtahid. Pengajian pertama dibuka pada malam selasa 10/10 lalu dengan menghadirkan dua pembicara, yakni Mohamad Guntur Romli, dari Jaringan Islam Liberal dan mahasiswa Filsafat Al-Azhar Kairo dan Dr. Zainun Kamal, dosen filsafat Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Keduanya mencoba membedah karya monumental Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut.
Ibnu Rushd adalah salah seorang filosof muslim yang hidup pada abad XII. Ia dikenal sebagai seorang penyelamat ruh filsafat yang telah hampir mati dihantam oleh Al Ghazali melalui karyanya Tahafut Al Falasifah. Ibnu Rushd, melalui bukunya Tahafut al-Tahafut kembali menyerang Al Ghazali yang dianggapnya telah merancukan pemikiran filsafat. Perang pena antar dua tokoh besar Islam ini menurut Guntur bukan hanya terjadi pada tulisan monumentalnya Tahafut al-Tahafut. Sebelumnya Ibnu Rushd telah beberapa kali mengkritik Al Ghazali dalam beberapa tulisannya. Kitab Fashl al Maqal, misalnya, merupakan serangan balik atas kitab Al Ghazali Faishal al Tafriqah bain al Islam wal al Zindiqah. Begitu pula kitabnya Bidayah al-Mujtahid juga merupakan tandingan atas kitab Al Ghazali, Bidayah al-Hidayah.
Ambisi Ibnu Rushd dalam menyerang Al Ghazali ini disinyalir oleh Guntur sebagai sebuah pertarungan politis. Hal itu bisa dilihat dari biografi Ibnu Rushd yang hidup pada masa dinasti Muwahhidin yang sangat mengagungkan filsafat. Sebelum dinasti Muwahidin, Cordova dikuasai oleh dinasti Murabithin. Dinasti ini sangat membenci filsafat dan mengedepankan pandangan fikih Dzahiri. Pada masa ini pula imam Al Ghazali menghabiskan hidupnya. Sementara ketika kepemimpinan negara diambil alih oleh Ibnu Tumurt, filsafat mulai dikembangkan kembali. Pertarungan politis dan ideologis di level pemerintahan itu sangat berpengaruh pada kehidupan Ibnu Rushd. Hal itu bisa dimaklumi karena Ibnu Rushd besar di lingkungan pemerintah. Kakek dan ayahnya adalah mantan hakim agung di Cordova. Bahkan ketika dinasti Muwahhidin di bawah kepemimpinan Abu Ya’kub, Ibnu Rushd juga menduduki tiga jabatan penting dalam pemerintahan, yaitu sebagai ketua hakim agung (qadhi al-qudhat), dokter istana, dan penasehat raja. “Sebagai seorang negarawan yang loyal, Ibnu Rushd tentu merasa berkepentingan untuk membela ideologi negara”, papar aktivis Jaringan Islam Liberal lebih lanjut.
Sementara itu DR. Zainun Kamal yang merupakan pakar pengkaji Tahafut al Tahafut menjelaskan kerancuan Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Menurutnya klaim Al Ghazali atas kerancuan filsafat semata-mata karena kesalahpahamannya dalam memahami filsafat. Dalam mempelajari filsafat, Al Ghazali disinyalir tidak mengambil sumber primer. Para filosof yang dikafirkan Al Ghazali karena mengatakan kekadiman alam, keterbatasan pengetahuan Tuhan pada yang universal, serta kebangkitan jasmani, sebenarnya mendasarkan logikanya pada filsafat Aristoteles. “Sementara Al Ghazali tidak membaca karya-karya Aristo”, tandas Zainun. Ia hanya membaca buku-buku terjemahan Aristo yang sudah banyak mengalami distorsi dari kalangan kristiani. Atau bahkan ia hanya membaca buku-buku Aristotelian yang telah ditulis ulang oleh para filosof muslim. Sehingga pemikiran itu sudah banyak bercampur dengan pemikiran-pemikiran Islam, khususnya filsafat paripatetik. “Inilah kerancuan Al Ghazali yang ingin ditunjukkan oleh Ibnu Rushd dalam Tahafut al Tahafut”, jelas Dosen filsafat UIN, Jakarta.
Kitab setebal seribuan halaman itu menurut Guntur Ramli, mengomentari dua puluh masalah tentang metafisika dan ketuhanan yang dibahas Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah. Tujuh belas di antaranya, menurut Al Ghazali menyebabkan orang yang mempelajarinya menjadi zindik. Sementara tiga masalah yang lain menyebabkan orang menjadi kafir. Tiga masalah yang dimaksud adalah kekadiman alam, keterbatasan ilmu Tuhan pada hal yang universal, dan kebangkitan jasmani pada hari kiamat.
Takfir Al Ghazali atas para filosof itu, menurut aktvis Jaringan Islam Liberal, Guntur Ramli, tidak fair. Pasalnya pendapat para filosof tentang masalah metafisika dan ketuhanan di atas didasarkan pada logika filsafat. Sementara oleh Al Ghazali dipahami dengan logika teologis. “Perdebatan para filosof itu adalah perdebatan filosofis, tetapi Al Ghazali memahaminya dengan pemahaman teologis. Inilah yang akhirnya menimbulkan kesalahpahaman terhadap filsafat”, tegasnya.
Oleh karena itu Ibnu Rushd dalam kitabnya yang lain (Fashl al Maqal) menegaskan bahwa perdebatan atau pembicaraan filsafat tidak bisa disebarluaskan kepada sembarang orang. Hal itu bisa menimbulkan fitnah dan klaim takfir. Ibnu Rushd menggolongkan masyarakat pada tiga level. Pertama, orang awam, yaitu orang-orang yang hanya bisa memahami teks agama secara retorik dan lahiriah saja. Kedua, orang khawas, yaitu orang-orang yang mampu memahami makna tersirat dari sebuah teks. Mereka inilah yang dimaksud sebagai filosof atau ahli hikmah. Golongan ini mampu memahami mawjudat (segala ciptaan Tuhan yang ada) dengan pendekatan burhani (demonstratif). Sementara di antara keduanya terdapat mereka yang dianggap sebagai mutakallimun, yaitu orang-orang yang memahami teks atau maujudat dengan pendekatan jadali (dialektis).
Menurut Ibnu Rushd masing-masing golongan tersebut tidak boleh melampaui kapasitasnya. Kesalahan fatal yang dilakukan oleh Al Ghazali dalam Tahafut al Falasifah adalah membeberkan perdebatan filsafat kepada kalangan awam. Akibatnya bukan saja merusak cara keberagamaan mereka yang bersifat retorik, tapi juga menodai pemikiran filosof yang didasarkan pada logika demonstratif. Ibnu Rushd mentamsilkan bahwa pemikiran bisa menjadi “makanan” bagi seseorang, namun bisa menjadi “racun” bagi yang lain. Jika seseorang tidak bisa membedakan antara “racun” dan “makanan”, berarti ia adalah orang bodoh (al-jahil ). Namun jika ia telah mengetahui hal itu “racun” dan tetap memberikannya kepada orang lain sebagai “makanan”, maka dia adalah orang jahat (al-syirrir).
Perdebatan filsafat Islam tentang ketuhanan dan persoalan metafisika, dinilai oleh Dawam Raharjo, intelektual muslim dan pendiri LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), yang hadir dalam diskusi tersebut, sebagai pemikiran yang usang dan tidak relevan untuk konteks sekarang. “Oleh karena itu sudah sejak dulu, saya tinggalkan filsafat Islam”, tandasnya. “Hal ini berbeda dengan Barat yang pemikiran filsafatnya bisa memengaruhi perkembangan sain dan teknologi yang pesat.”
Pernyataan Dawam itu diamini oleh Guntur. Menurutnya tema-tema metafisika dan ketuhanan yang diangkat oleh Ibnu Rushd sudah sangat usang dan sudah tidak relevan lagi. Bahkan logika Aristoteles yang dikenal logika klasik yang sangat diagungkan Ibnu Rushd pun sudah banyak dibantah dan ditolak oleh filsafat modern. “Lalu apa yang tersisa dari pemikiran Ibnu Rushd untuk kita sekarang?”, tanya Guntur. “Menurut saya adalah masalah rasionalitas dan penghargaannya pada akal (al-ittijah al-aqlany ), dan metode kritisismenya (al-manhaj al-naqdy) yang bisa dikembangkan dari pemikiran Ibn Rusyd”.
Hal ini dibantah oleh Doktor dari UIN Jakarta. “Menurut saya, yang menolak filsafat Ibnu Rushd adalah orang awam”, tegas Zainun yang disambut oleh gelak tawa hadirin. “Barat bisa seperti sekarang itu sebetulnya banyak terinspirasi oleh Ibnu Rushd. Karya-karyanya banyak diterjemah dan dipelajari di sana. Bahkan hingga ada Avveroisme Latin dan sebagainya. Dan yang harus diingat bahwa buku Tahafut al-Tahafut ini telah memengaruhi para filosof Barat untuk mengkritik doktrin Gereja yang sangat dominan. Dari sinilah filsafat pencerahan itu dimulai.” “Memang Barat tidak berhenti pada Ibnu Rushd, tapi mengembangkannya lebih maju lagi. Lha kalau Islam malah ingin membuang filsafatnya, bagaimana Islam bisa maju?” tanya Zainun sinis. “Seharusnya kita yang mengembangkan”, tegas Doktor yang menulis disertasi tentang Ibnu Rushd mengakhiri pembicaraannya.[]

Tidak ada komentar: